Oleh : Sawaludin Damopolii
Wartawan Senior Malut TV.
Selain dihuni mayoritas muslim, Maluku Utara juga dikenal sebagai negeri penganut adat istiadat yang lumayan kental. Berbagai sendi kehidupan sosial kemasyarakatan dan perspektif politik berpedomankan agama dan tradisi leluhur.
Moloku Kie raha juga diidentikkan sebagai negeri para raja. Pasalnya, sebelum berafiliasi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam hikayat Maluku Utara dikenal sebagai negeri kerajaan islam tertua di nusantara. Ada empat kesultanan besar termazhur dan populer di daerah ini, yaitu Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.
Eksistensi dan pengaruh kerajaan bercorak islami hingga kini tradisi dan perspektif keadatannya masih melembaga dan diyakini oleh masyarakat kultural.
Keyakinan itu kemudian dinisbatkan dalam sebuah falsafah adat yang dikenal dengan “Adat Matoto Agama, Agama Matoto Kitabullah, Kitabullah Matoto Jou Allah Ta’ala”. Kalimah ini bukan hanya sekedar narasi biasa, melainkan memiliki nilai filosofi dan spiritual tinggi.
Istilah sakral leluhur itu kemudian menjadi sumber serta rujukan kehidupan masyarakat Maluku Utara wabil khusus bagi beragama muslim. Doktrinisasi keyakinan itu kemudian membentuk mindset dan melahirkan fanatisme pola pikir masyarakat dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk di bidang politik praktis.
Sebagai daerah berpenduduk mayoritas muslim dengan persentase 75 persen, hal ini menjadi indikator dan hitungan irisan politik bagi politisi dan kandidat Gubernur Maluku Utara. Di negeri ini, kandidat kepala daerah non muslim yang bertarung mengincar puncak Gosale, Sofifi kerap berakhir kekalahan.
Berdasarkan sejarah politik, Sharing idiologi (agama) pernah diformatkan oleh pasangan Antony Charles Sunaryo dan M. Amin Drakel di Pilkada Gubernur Maluku Utara tahun 2007. Namun pasangan Antony-Amin yang diusung PDIP berakhir dengan kekalahan. Skema serupa juga pernah dilakukan mantan Bupati Halmahera Utara dua periode, Ir. Hein Namotemo.
Untuk meraih dukungan penuh, putra canga itu menggaet Malik Ibrahim sebagai wakilnya di Pilkada Gubernur 2013. Lagi-lagi skema nasrani-muslim yang diformatkan kedua tokoh Halut dan Tidore itu pun pupus dengan jalur Independennya.
Politik identitas saat itu masih terbilang kental. Masyarakat menjatuhkan pilihannya dengan berbagai referensi informasi dan latar belakang entitas sosial individu. Dalam demokrasi lingkungan masyarakat homogen, politik identitas susah dihindari dan bahkan menjadi sesuatu yang lumrah.
Namun hal itu tidak berpengaruh bagi Sherly Tjoanda. Putri cantik kelahiran Ambon tahun 1982 ini sukses menjebol mitos negeri para raja di Pilgub 2024. Bukan hanya menjawab minoritas juga bisa, Istri mendiang Benny Laos juga memecah image dan mitos yang berkarat turun temurun di Maluku Utara bahwa “Perempuan Diharamkan” menjadi Ratu di negeri Kolano.
Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Image minoritas (etnis dan agama) dan isu perempuan “dilarang” menjadi pemimpin di Moloku Kieraha akhirnya terjawab di Pilgub 2024. Sherly Tjoanda, berhasil memecah record dan mencatat sebagai perempuan pertama yang bakal menjadi ratu di negeri para raja.
Dengan menggaet Mantan Kepala Wilayah Departemen Agama Provinsi Sulawesi Utara, H. Sarbin Sehe, perempuan berkulit putih ini berhasil mengalahkan 3 pasangan rival politiknya di Pilkada Gubernur Maluku Utara 2024 dengan perolehan suara signifikan.
Unggulnya Sherly di kompetisi politik musim (hasil quick count Indikator) ini di luar ekspektasi publik. Sosoknya tidak terlalu populis. Bahkan Sherly tidak diperhitungkan di ranah politik praktis. Selain itu latar belakang sosialnya pun dari entitas minoritas. Dari perspektif identitas pun, perempuan dua anak ini tidak diperhitungkan. Namun realitas politik berkata lain. Sherly kini menjadi idola baru masyarakat Maluku Utara. Dalam hasil Quik Count Indikator, kandidat nomor 4, Sherly-Sarbin unggul di 8 Kabupaten Kota. Sedangkan Kota Tidore dan Kota Ternate dimenangkan pasangan Sultan Tidore Husain Sjah dan Asrul Rasyid Ichsan.
Pilgub tahun ini melahirkan fenomena baru di dunia perpolitikan Maluku Utara. Selain menjawab betapa dasyatnya kekuatan media sosial, yang dimainkan oleh arsitektur konsultan secara terukur dan terpola, Maluku Utara mengalami kemajuan dalam berdemokrasi. Selain kritis, masyaràkat pun mulai cerdas menentukan pilihannya di tengah alotnya opini dan propaganda.
Semoga fenomena ini menjadi referensi dan pijakan bagi para kontestan agar tidak jenuh bertransformasi dari pemikiran dan pendekatan konvensional ke perilaku dan pemikiran politik modernisasi dengan narasi yang inovatif dan produktif. Jika tidak, maka kita bakal tergilas peradaban dan dijauhi selera publik. (*)